Dalam
kitab-kitab fiqih dijelaskan bahwa istinjak boleh dengan air juga boleh dengan
benda keras seperti batu, kayu, kertas dan lain-lain.
Salah
satu syarat istijak dengan seumpama batu adalah najis itu tidak merembes
ketempat lain. Bila najis itu telah merembes ketempat lain maka wajib
dibersihkan dengan air.
Dengan
demikian ada pendapat ulama yang menyatakan wanita yang telah pernah jima’
tidak boleh istinjak dari kencing dengan menggunakan seumpama batu tapi mesti
istinjak dengan air karena ketika ia kencing pasti masuk ke liang jima’.
Pendapat
yang mu’tamad dalam mazhab as-Syafi’I wanita yang telah pernah jima’ selama kencingnya
tidak masuk ke liang jima’ boleh beristinjak dengan seumpama batu karena tidak
mesti kencingnya masuk ke liang jima’. Bila
terbukti najis mengenai liang jima’ maka wajib dibasuh dengan air.
Lihat Imam An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhazab, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.t), juz, 2, hal.128,
(الرَّابِعَةُ)
قَالَ أَصْحَابُنَا الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى الْمُشْكِلُ فِي اسْتِنْجَاءِ
الدُّبُرِ سَوَاءٌ وَأَمَّا الْقُبُلُ فَأَمْرُ الرَّجُلِ فِيهِ ظَاهِرٌ وَأَمَّا الْمَرْأَةُ
فَنَصَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَى أَنَّ الْبِكْرَ وَالثَّيِّبَ سَوَاءٌ
فَيَجُوزُ اقْتِصَارُهُمَا عَلَى الْحَجَرِ وَبِهَذَا قَطَعَ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ
فِي الطَّرِيقَتَيْنِ وَقَطَعَ الْمَاوَرْدِيُّ بِأَنَّ الثَّيِّبَ لَا يُجْزِئُهَا
الْحَجَرُ حَكَاهُ الْمُتَوَلِّي وَالشَّاشِيُّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ وَجْهًا وَهُوَ
شَاذٌّ: وَالصَّوَابُ الْأَوَّلُ: قَالَ الْأَصْحَابُ لِأَنَّ مَوْضِعَ الثِّيَابَةِ
وَالْبَكَارَةِ فِي أَسْفَلِ الْفَرْجِ وَالْبَوْلُ يَخْرُجُ مِنْ ثَقْبٍ فِي أَعْلَى
الْفَرْجِ فَلَا تَعَلُّقَ لِأَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ فَاسْتَوَتْ الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ
إلَّا أَنَّ الثَّيِّبَ إذَا جَلَسَتْ انْفَرَجَ أَسْفَلُ فَرْجِهَا فَرُبَّمَا نَزَلَ
الْبَوْلُ إلَى مَوْضِعِ الثِّيَابَةِ وَالْبَكَارَةِ وَهُوَ مَدْخَلُ الذَّكَرِ وَمَخْرَجُ الْحَيْضِ وَالْمَنِيِّ وَالْوَلَدِ
فَإِنْ تَحَقَّقَتْ نُزُولُ الْبَوْلِ إلَيْهِ وَجَبَ غَسْلُهُ بِالْمَاءِ وَإِنْ لَمْ
تَتَحَقَّقْ اُسْتُحِبَّ غَسْلُهُ وَلَا يَجِبُ: نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ
إذَا لَمْ تَتَحَقَّقْ وَاتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَيْهِ وَاتَّفَقُوا عَلَى وُجُوبِ
غَسْلِهِ إذَا تَحَقَّقَتْ نُزُولَهُ
“(keempat) Berkata ulama-ulama mazhab
as-Syafi’I; Laki-laki, perempuan dan khunsa musykil semua sama boleh instinjak
dengan batu pada zuburnya. Adapun qubul pada laki-laki jelas masalahnya. Adapun
perempuan maka mengnash oleh imam As-Syafi’I bahwa tidak berbeda antara perawan
dan bukan perawan keduanya boleh istinjak hanya dengan batu. Nash ini diqatha’
oleh jumhur ash-hab dalam dua thariq. Al-Mawardiy mengqatha’ bahwa wanita tidak
perawan tidak boleh instinjak hanya dengan batu, pendapat ini dihikayah oleh
al-Mutawali, as-Syasyi dan pengarang al-Bayan sebagai wajah, ini adalah syaz,
yang benar adalah pendapat pertama. Para ash-hab berkata; alasannya karena
tempat keperawanan berada di bagian bawah faraj, sedangkan kencing keluar lubang
dari bagian atas faraj maka tidak terhubung lobang keduanya sehingga samalah
kedudukan perawan dan bukan perawan, Cuma perempuan tidak perawan bila duduk
terbuka bagian bawah farajnya maka kadang-kadang terkena kencing pada liang
jima’nya. Dari liang jima’ itulah masuk zakar, keluar mani, haidh dan anak. Jika
dipastikan ada kencing yang mengenai liang jima’ maka wajib dibasuh dengan air.
Bila tidak terbukti, sunat sunat membasuhnya tidak wajib. Telah mengnash oleh
imam as-Syafi’I; sunat membasuh dengan air bila tidak terbukti najis mengenai
liang jima’ dan para ash-hab juga sepakat demikian. Para ash-hab juga sepakat
bila terbukti ada kencing yang mengenai liang jima’ maka wajib dibasuh dengan
air.”
syukron infonya
BalasHapussangat bermanfaat