Menurut mazhab Syafi’I, orang berjunub dan berhaidh haram membaca al-qur’an walaupun sedikit dan tidak sampai satu ayat. Pendapat ini sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama, demikian dihikayahkan dari manyoritas ulama oleh al-Khuthaby dan ulama lainnya. Para ulama mazhab syafi’I juga menghikayahkan pendapat ini dari Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Jabir. Rh, al-Hasan, az-Zuhry, an-Nakha’I, Qatadah, Ahmad dan Ishak. Menurut Daud ad-Dhahiry, orang berjunub dan orang berhaidh boleh membaca seluruh isi al-Qur’an. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibni Abbas dan Ibni Musayyab. Menurut Qadhi Abu Thaib, pendapat ini merupakan pilihan Ibnu Munzir. Menurut mazhab Maliki, orang berjunub boleh menbaca sedikit dari ayat al-Qur’an untuk perlindungan. Sedangkan tentang orang berhaidh ada dua riwayat dari Imam Malik: boleh dan tidak boleh. Menurut Mazhab Hanafy, orang berjunub boleh membaca sebagian ayat, tidak boleh membaca satu ayat yang sempurna. Juga ada riwayat dari Abu Hanifah yang seseuai dengan mazhab Syafi’i. Dalil pendapat yang membolehkan membaca al-qur’an bagi orang yang berjunub dan berhaid secara mutlak adalah hadis Aisyah. Ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى كُلِّ
أَحْيَانِهِ )رَوَاهُ
مُسْلِمٌ (
Artinya: “sesungguhnya nabi Saw selalu menyebut Allah swt dalam
setiap waktunya.” Alalsan lainnya, karena pada dasarnya membaca al-Qur’an itu
tidak haram.
Dalil mazhab Syafi’I adalah: Hadis Ibnu Umar:
لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ
وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ )رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ
وَغَيْرُهُمْ(
Artinya: “Orang berjunub dan orang berhaidh tidak boleh membaca
sedikitpun dari al-Qur’an.” Tapi hadis ini dhaif.
Hadis Abdullah bin Salimah dari Ali ra:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَلَمْ يَكُنْ يحجبه وربما قال يحجزه
عن القرآن شئ ليس الجناية
Artinya: “Rasulullah. Saw
membaca al-qur’an setelah qadha hajat dan tidak ada sesuatupun yang
mengahalangi beliau dari membaca al-Qur’an selain junub.” Hadis ini
diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, an-Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqy dan ulama
lainnya. Berkata Tirmizi, hadis ini “Hasan – Sahih”, sementara para huffadh dan
muhaqqiqin lainnya mengatakan hadis ini dhaif. Hadis ini juga diriwatkan oleh
Imam Syafi’I dalam kitab Jima’ at-Thahur dan beliau berkata: “andai kata hadis
ini tsabit, maka ini menjadi dalil haram membaca al-qur’an bagi orang yang
berjunub.” Al-Baihaqy berkata” Imam Syafi’I tidak memastikan tsabitnya hadis ini
karena hadis ini bersumber dari Abdullah bin Salimah yang meriwayatkan hadis
ini ketika telah berusia lanjut sebagai mana dikatakan oleh Syu’bah. Abdullah
bin Salimah termasuk perawi yang diingkari riwayatnya. Salah satu penyebab
riwayatnya diinkari, karena akalnya yang melemah disebabkan factor usia. Lalu
Al-Baihaqy meriwayatkan kebenaran perkataan Syu’bah dari para imam dan beliau
berkata “Dan telah sahih dari Umar bin Khatthab ra, bahwa beliau membenci
bacaan al-qur’an bagi orang yang berjunub.” Kemudian beliau meriwatkan hadis
itu beserta sanadnya darinya. Dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib “Orang
berjunub tidak boleh membaca al-Qur’an dan tidak tidak satu huruf pun darinya.”
Al-Baihaqy juga meriwayatkan dari Abdullah bin Malik al-Ghafiqy bahwa beliau
mendengar rasulullah. Saw bersabda :
إذَا تَوَضَّأْتُ وَأَنَا
جُنُبٌ أَكَلْتُ وَشَرِبْتُ وَلَا أُصَلِّي وَلَا أَقْرَأُ حَتَّى أَغْتَسِلَ
Artinya : “Apabila saya telah berwudhu’ padahal saya dalam
keadaan berjunub maka saya makan dan saya minum dan saya tidak salat dan tidak
membaca al-qur’an sehingga saya mandi.” Sanad hadis ini juga dhaif. Para ulama
mazhab Syafi’I juga berhujjah dengan kisah Abdullah bin Rawahah ra yang
masyhur, bahwa istrinya melihat ia jima’ dengan jariyahnya, lalu istrinya mengambil
pisau ingin membunuhnya maka ia membantah telah menjimak jariyahnya lalu
berkata : bukankah rasulullah. Saw melarang orang berjunub membaca al-Qur’an?.
Ya jawab istrinya. Lalu ia membaca beberapa bait yang masyhur. Istrinya mengira
itu adalah ayat al-qur’an sehingga istrinya terdiam. Lalu ia menceritakan
peristiwa itu kepada rasulullah. Saw, rasulpun tertawa dan beliau tidak
mengingkarinya. Ada dua segi dilalah dalam kisah ini. Pertama, rasulullah. Saw
tidak mengingkari perkataan Abdullah bin Rawahah (Rasulullah. Saw mengharamkan
bacaan al-qur’an bagi orang berjunub). Kedua, kisah ini sangatlah populer di
kalangan mereka yang diketahui oleh kaum lelaki dan kaum perempuan. Tetapi
sanad kisah ini juga lemah dan munqati’. Para ulama mazhab Syafi’I membantah
Daud ad-Dhahiri yang berhujjah dengan hadis Aisyah di atas, bahwa yang dimaksud
dengan zikir adalah zikir selain al-Qur’an, kerena demikianlah pengertian zikir
ketika itlaq. Sedangkan mazhab-mazhab yang lain, mereka mengakui pengharaman
bacaan al-qur’an bagi orang berhadas besar, kemudian mereka mengkhususkan boleh
bagi orang berhaidh dengan tanpa dasar yang kuat. Jika mereka berkata kami
membolehkan bagi orang berhaidh agar mereka tidak lupa dengan hafalan
al-qur’annya maka kita akan menjawab, tujuan itu bisa terlaksana dengan
membacanya dalam hati. Wallahu a’lam.
Terjemahan al-Majmu’ Syarh al-Muhazab,
Oleh: Tgk. Taufiq Yacob, S.Pd.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar