Di antara Istilah Musykilah
yang terdapat dalam kitab “Minhaj At-Thalibiin” dan Syuruhnya adalah
istilah “Al-Ashah/As-Shahih Al-Manshush”. Istilah ini menjadi rancu
karena secara lahiriyah keduanya “Ashah/Shahih” dan “Manshush”
tidak mungkin berkumpul karena saling berlawanan karena “Ashah/Shahih”
adalah pendapat Ashabul Wujuh sedangkan “Manshush/Nash” adalah
pendapat Imamina As-Syafi’i.
Para
ulama lalu berbeda pendapat dalam memaknai maksud dari istilah ini:
1. Nash
yang Rajih
Berdasarkan
pendapat ini, Ashah/Shahih di sini bermakan Ar-Raajih bukan bermakna
pendapat Ashabul wujuh sebagaimana lazimnya istilah tersebut. Sebagaimana dalam
ibarat kitab berikut:
)قَوْلُهُ: قُلْت: الْأَصَحُّ)
هُوَ
هُنَا بِمَعْنَى الرَّاجِحِ بِقَرِينَةِ جَمْعِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَنْصُوصِ،
وَلَا يَصِحُّ حَمْلُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ لِمَا يَلْزَمُ عَلَيْهِ مِنْ
التَّنَافِي، فَإِنَّ الْأَصَحَّ مِنْ الْأَوْجَهِ لِلْأَصْحَابِ وَالْمَنْصُوصِ
لِلْإِمَامِ وَفِي الْوَصْفِ بِهِمَا مَعًا تَنَافٍ
“Al-Ashah” di sini bermakna Raajih
buktinya ia dikumpulkan dengan “Al-Manshus” dan tidak mungkin bermakna
seperti biasanya karena menimbulkan pertentangan di antara keduanya karena “Al-Ashah”
adalah pendapat Ashabul wujuh sedangkan “Al-Manshus” adalah pendapat Imam
As-Syafi’I. Bila sebuah hukum istilahkan dengan keduanya akan saling menafikan.
Pendapat
ini juga menunjukkan bahwa “Ashah/Shahih Manshush” sebenarnya adalah
nash Syafi’I dan muqabilnya adalah Qaulun Mukharraj.
Lihat:
Hasyiyah Al-Qulyubi, Juz. 1, hal. 254.
قَوْلُهُ: (الْأَصَحُّ
الْمَنْصُوصُ) هُوَ نَصُّ الْإِمَامِ فَالْأَصَحُّ بِمَعْنَى
الرَّاجِحِ وَالتَّعْبِيرُ عَنْهُ أَوَّلًا بِقِيلَ
حِكَايَةٌ لِكَلَامِ أَصْلِهِ، وَحِكَايَةُ مُقَابِلِهِ بِقِيلَ صَحِيحَةٌ
لِأَنَّهُ وَجْهٌ لِلْأَصْحَابِ، وَكَانَ الْأَنْسَبُ بِكَلَامِهِ التَّعْبِيرَ
بِالنَّصِّ.
Yang dimaksud dengan “Al-Manshus” adalah Nash Imam
As-Syafi’I maka lafadh “Al-Ashah” maknanya adalah yang raajih.
Mengibaratkan Al-Ashah Al-Manshus sebelum “Qultu” dengan istilah “Qila”
adalah menghikayahkan ibarat al-Muharrar dan menghikayahkan muaqabil dengan
istilah “Qiila” itu tepat karena adalah pendapat Ashabul Wujuh. Sebenarnya yang
lebih sesuai adalah mengibaratkan dengan istilah “An-Nash”
2. Mengisyarahkan lemah Muqabil
layaknya Qaulun Mukharraj
Pendapat ini menunjukkan bahwa tujuan
dari ibarat ini adalah untuk mengisyarahkan bahwa muqabilnya lemah. Sebagaimana
disebutkan oleh Syeikh Mahran dalam Risalah At-Tambih
يحتمل أن يكون ذلك تغليبا للوجه المقابل، وتفيد
العبارة بيان قوة الخلاف وضعفه، فلا اعتراض،
Bisa saja maksudnya adalah
melemahkan pendap muqabil dan faedah dari ibarat ini untuk menyatakan kuat dan
dha’ifnya khilaf maka tidak perlu ada protes.
3. Hasil Ijtihad shahabat (Ashabul
wujuh) tanpa mengetahui adanya nash Syafi’I dalam masalah ini. Kemudian
didapatkan nash Syafi’I yang sesuai dengan Ijtihad sahabat sehingga
diistilahkan dengan “Ashah/Shahih” yang menunjukkan kepada pendapat
sahabat lalu disertai dengan “Manshus” yang menunjukkan dalam masalah
ini ada nash Syafi’i.
Pendapat ini menunjukkan bahwa “Ashah/Shahih” tetap bermakna pendapat Ashabul Wujuh dan “Al-Manshush” tetap bermakna Nash Imam As-Syafi’I sehingga masalahnya hukumnya tetap hasil ijtihad dari Ashabul Wujuh tapi kualitasnya sangat kuat karena sesuai dengan Nash Imam As-Syafi’I yang ditemukan di kemudian hari.
Syeikh
Ubaidillah Al-Kizani berkata:
إن المعبر عنه بهذا التعبير هو الأصح الذي وافقه نص
للإمام، فهو إذن وجهٌ للأصحاب، وُجِد نصٌّ من نصوص الإمام يؤيده
Ibarat ini (Al-Ashah
Al-Manshus) adalah “Al-Ashah” yang sesuai dengan Nash As-Syafi’I, maka
wajhun tetaplah pendapat Ashabul Wujuh yang dikuatkan oleh nash yang didapatkan
nash sesudahnya.
Juga
dikuatkan oleh Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Fath
Al-Wahab, juz. 1, hal. 199.
(قَوْلُهُ: الْمَنْصُوصُ مِنْهُمَا الْوَزْنُ) أَيْ: الْمُرَجَّحُ
لَا مَا نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ فَلَا يُقَالُ: كَيْفَ أَطْلَقَ
الْعِرَاقِيُّونَ الْوَجْهَيْنِ مَعَ وُجُودِ النَّصِّ؟ وَأَجَابَ ع ش بِأَنَّ
الْمُرَادَ أَنَّهُمْ أَطْلَقُوا الْوَجْهَيْنِ قَبْلَ اطِّلَاعِهِمْ عَلَى
النَّصِّ وَعَلَى هَذَا فَالْمُرَادُ بِالنَّصِّ حَقِيقَتُهُ شَيْخُنَا
…. Maka tidak dikatakan bagaimana I’raqiiyyun
mengitlaqkan wajhain beserta ada nash?. Menjawab hal ini, Syeikh Ali
Syibranmalisi berkata “mereka mengitlaq wajhaini sebelum mereka mendapatkan
nash, maka yang dimaksud dengan nash adalah hakikatnya.
Adanya pendapat Ashabul
Wujuh yang dikuatkan oleh nash juga diisyarahkan oleh ibarat kitab-kitab
berikut:
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazab juz, 8. Hal. 397:
(الصَّحِيحُ) الَّذِي نَصَّ عَلَيْهِ
الشَّافِعِيُّ فِي الْبُوَيْطِيِّ وَبِهِ قَطَعَ كَثِيرُونَ أَنَّ الذَّكَرَ
أَفْضَلُ مِنْ الْأُنْثَى
Raudhah
At-Thalibiin:
وَلَكِنَّ الصَّحِيحَ الَّذِي نَصَّ
عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ، وَقَطَعَ بِهِ الْأَكْثَرُونَ، وَصَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ
فِي (الْمُحَرَّرِ) وَالْمُحَقِّقُونَ: أَنَّهَا لَا تَخْتَصُّ بِوَقْتٍ، كَمَا
لَا تَخْتَصُّ بِيَوْمٍ.
Kifayah Al-Akhyar, hal. 50.
وَإِن لم يظْهر جَازَ على الصَّحِيح
الَّذِي نَص عَلَيْهِ الشَّافِعِي
Wallahu
A’lam Bii As-Shawab
SEMOGA BERMANFAAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar