Salat adalah ibadah badaniyah paling afdhal dalam Islam. Karenanya salat menjadi
ibadah paling utama setelah iman. Juga salat berada pada urutan kedua dalam
rukun Islam. Salat juga ibadah yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi
bagaimanapun. Di akhirat nanti merupakan ibadah yang pertama sakali dihisab
sebagai mana sabda rasulullah. Saw:
أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم
الصلاة
“Pertama sekali amalan manusia diperiksa di akhirat nanti adalah salat”
Defenisi salat sebagaiman disebutkan dalam kitab-kitab fiqih adalah:
أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير مختتمة
بالتسليم بشرائط مخصوصة
“Beberapa perbuatan
dan beberapa perkataan khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan
salam disertai syarat-syarat khusus”. Defeinisi ini memberikan gambaran bahwa
salah satu ciri khas salat adalah dimulai dengan takbir yang disebut dengan
takbiratul ihram. Di balik peletakan takbir sebagai pembuka salat ternyata
menyimpan hikmah yang sangat luar biasa. Para ulama dalam karya-karya mereka
menyebutkan bahwa hikmah dimulainya salat dengan takbir adalah agar setiap orang
yang masuk dalam ibadah salat selalu menghadhirkan kandungan maknanya berupa
keagungan dan kehebatan Allah. Swt dalam sepanjang salatnya sehingga melahirkan
kusyuk yang sempurna. Syeikh Khatib Syarbaini dalam Mughni Al-Muhtaj
menyebutkan:
وحكمة افتتاحها بالتكبير: ليستحضر المصلي عظمة معناها الدال على عظمة
من تهيأ لخدمته، حتى يتم له الهيبة والخشوع، ومن ثم زيد في تكريرها؛ ليدوم له ذانك
في جميع صلاته؛ إذ لا روح ولا كمال لها بدونهما
“Hikmah salat dimulai dengan
takbir adalah supaya orang yang salat menghadirkan keagungan makna yang
terkandung dalam takbir berupa keagungan zat Allah. Swt di mana simushalli
mempersiapkan diri untuk berkhidmat kepada-Nya sehingga sempernulah rasa hormat
dan khusyu’ dalam alatnya. Karena alasan inilah sehingga takbir berulangkali
dianjurkan dalam salat supaya penghormatan dan kekusyu’an tetap berlanjut dalam
sepanjang salatnya karena salat tidak memiliki ruh dan tidak sempurna bila tanpa
penghormatan dan kekhusyu’an. Lihat Mugni Al-Muhtaj, juz. 1, hal. 198.
Semoga
bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar